Son berlari dari arah kamar kosnya menuju kamar mandi yang jauhnya sekitar 10 meter di depan kamarnya. Sekitar pukul 11 malam, ia lari di tengah lorong melewati 4 kamar kos di sisi kanannya dan rumah pemilik kos di sisi kirinya. Lorong beratapkan seng itu cukup panjang hingga pada akhirnya ia harus menyeberangi halaman rumah ke arah deretan lima kamar mandi.
“Oi, sini masuk!” belum sampai kamar mandi, Son berhenti di tengah halaman dan memanggil salah satu kamar mandi yang ada di situ. Ia balik kanan dan berlari lagi ke kamarnya dengan cepat agar tidak basah terkena gerimis yang baru saja mulai. Sebuah kamar mandi nomor 3 dari kiri, atau nomor 3 dari kanan, mengikuti Son melewati lorong dan masuk ke kamar Son tepat setelah Son masuk.
“Di luar dingin dan mau hujan, mending nginep sini aja kan Lam?” tanya Son.
“Iya,” sahut kamar mandi luar yang sedang mencari posisi favoritnya. Son menutup pintu kamarnya agar suara hujan yang mulai deras itu bisa teredam.
Seperti jalan buntu, lorong kos Son adalah lorong buntu yang berujung pada kamar Son. Kamarnya cukup besar dan begitu pula pintu kamarnya yang muat dilewati kamar mandi berukuran 1 meter kali 1,5 meter. Pintu kamar Son menempel pada sisi kiri tembok kamar yang plafonnya tersusun dari 9 petak eternit. Kamar mandi luar itu kini sudah ada di seberang pintu kamar kos dan bersemayam di pojok belakang kamar dengan pintunya yang menghadap ke sisi kanan ruangan. Kasur Son tergeletak di atas lantai tepat di depan pintu kamar mandi. Di atas kasur itu sudah ada Son yang berselonjor dan bersandar pada bantal yang menempel di tembok. Sebelum sampai ke atas kasur, ia sudah memutar lagu di HP yang terhubung dengan speaker. Keduanya ia letakkan di atas meja kayu lipat yang berada di sebelah kiri kasurnya. Malam itu ia memutar lagu-lagu lawas kesukaan neneknya, lagu karya Koes Plus dan Panbers.
“Lam, siapa anak kos yang paling kamu nggak suka?” Son langsung menanyakan hal yang tiba-tiba saja terlintas di kepalanya pada Kamalam. Son memanggil kamar mandi luar itu dengan nama Kamalam. Ia membuat nama itu setelah berpikir dua hari dua malam hingga akhirnya ia menemukan akronim dari “Kamar Mandi Luar yang Masuk Ke Dalam”.
“Kau lah!” ujar Kamalam berbicara lewat isyarat daun pintunya. Son sudah hapal dengan gerakan daun pintu itu sehingga mudah saja baginya untuk ngobrol dengan kamar mandi.
“Lho, kok aku?” Son kaget karena ia pikir Kamalam akan menjawab Lee, tetangga kos-nya yang jarang menyiram kamar mandi kalau habis BAB dan meninggalkan pisang-pisangnya menggenang dengan sangat tenang.
“Kau itu orang yang paling sering mencret di kos ini. Aku kewalahan dengan luberanmu yang bau. Kau makan apa sih? Mencret kok sering?”
“Tapi kan aku siram” Son membela diri. Son memang tidak suka dengan bau luberannya, tapi justru karena itu ia segera siram agar baunya hilang.
“Memang. Tapi luberanmu itu bikin tembokku ternodai,” Kamalam terdengar jengkel. Ia sangat mendambakan tembok-tembok birunya bersih dari noda-noda limbah manusia. Sebenarnya ia juga jengkel dengan Lee, namun menurutnya Lee masih mending karena Lee tidak membuat temboknya kotor.
Son merangkak sebentar dan membuka pintu Kamalam. Ia baru menyadari kalau ternyata banyak bercak coklat di tembok Kamalam. Ia memang sering mencret dan selalu membuangnya di Kamalam. Meskipun kamar mandi lain kosong, ia tetap memilih Kamalam karena posisi Kamalam yang tepat di tengah deretan kamar mandi sehingga membuatnya bisa cepat menjangkau kloset untuk segera jongkok dan mengeluarkan isi perutnya, “Haish… Simpel aja, itu kan tinggal digosok juga ilang”
“Simpel dari mana? Aku aja jarang digosok. Aku iri sama Kambu yang nggak hanya selalu digosok tapi juga selalu dapat uang dari orang yang pakai dia,” keluh Kamalam saat Son mulai merangkak kembali ke posisinya semula.
“Kamu iri sama kamar mandi SPBU?” tanya Son yang keheranan. Ia tidak menyangka temannya itu bisa punya rasa iri sama kamar mandi lain. Ia mulai menarik kakinya dan bersila. Ia mulai tertarik dengan pergibahan di dunia kamar mandi.
“Kambu selalu ramai didatangi orang. Tiap orang selesai kencing atau BAB, dia selalu dapat uang. Aku di sini tidak pernah dapat uang. Kalau aku jadi Kambu, aku yakin bisa lebih kaya dari sekarang. Bahkan aku yakin bakal lebih kaya dari Kambu yang sekarang, “ ujar Kamalam yang semakin malam bukannya semakin ngantuk tapi malah semakin bersemangat.
“Bagaimana bisa? Lantaimu saja dari semen. Keranmu keran plastik yang setahun sekali biasanya diganti. Lampumu juga kuning, bukan putih. Paling cuma kloset jongkokmu aja yang sama kaya Kambu”
“Kau belum dengar ideku. Kambu itu cuma dapat dua ribu tiap orang, aku bisa dapat lebih banyak uang pakai akalku,” ujar Kamalam yang lampu kuningnya tiba-tiba menyala, persis seperti adegan tokoh kartun yang tiba-tiba punya ide.
“Apa yang bisa dilakukan sebuah kamar mandi, benda yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, apalagi kepala untuk berpikir?” ejek Son.
“Aku tidak punya kepala, tapi aku punya lampu ide yang menyala tiap aku punya ide. Kalau Kambu dapat uang dari sesuai orang. Aku dapat uang seusai banyak item yang dibuang orang. Aku pernah lihat kau belajar sensor buat ngitung orang yang masuk ruangan. Aku yakin, kalau sensor itu dipasang di klosetku, aku bisa ngitung item yang masuk ke klosetku. Kalikan saja satu item lima ratusan. Aku yakin ideku bakal bikin aku kaya” kata Kamalam dengan bangga.
“Lalu gimana cara bayarnya?” tanya Son.
“Aku pernah lihat kau buang struk belanjaan di klosetku. Aku benci itu soalnya strukmu bikin klosetku mampet. Tapi aku bakal pasang printer di luar pintuku buat cetak struk item-item -nya. Nanti orang bayar di luar. Hebat kan?” kata Kamalam yang kini lampunya tambah terang.
Son tidak habis bikir bahwa Kamalam selalu memperhatikan dirinya. Ia selalu mengira bahwa Kamalam hanyalah kamar mandi biasa yang kerjanya hanya menunggu orang datang. Kamalam memang selalu punya ide-ide tapi tidak biasanya Kamalam punya ide secemerlang itu. Son sekarang percaya kalau ide itu seperti air sumur di rumahnya. Buka saja kerannya. Biarkan air keruh keluar beserta tanah-tanahnya. Biasanya air itu akan berubah warna dari coklat tua sampai lumayan jernih. Ide memang tidak selalu bagus dan mungkin tidak ada ide yang benar-benar bagus, tapi buka saja keran idenya. Keluarkan saja semua idenya sampai lama-lama ketemu ide yang paling bagus di antara ide-ide yang lainnya.
“Sugoi… Kamu banyak belajar dariku juga ya,” sahut Son seraya tepuk tangan. Sekarang lampu Kamalam tidak hanya terang, namun juga berkedip-kedip sekaligus daun pintunya juga naik turun dengan cepat seolah ia ikut tepuk tangan bersama Son. Kamar Son riuh bersamaan dengan riuhnya air hujan yang menggempur atap seng lorong kos Son. Percayalah, mereka hampir selalu melakukan itu setiap hujan turun di malam hari. Namun, malam itu sedikit berbeda dari biasanya. Kamalam sangat senang karena baru kali itu Son tepuk tangan bersamanya.
[Read the English version here].
Artikel ini menyajikan versi singkat (TL;DR) dari penelitian saya tentang prediksi dan pelacakan beam berbantuan GPS untuk k...
Son berlari dari arah kamar kosnya menuju kamar mandi yang jauhnya sekitar 10 meter di depan kamarnya. Sekitar pukul 11 malam, ia lari di tengah lorong mele...
Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ada yang sama antara motor dengan dengan roket, dan antara roket dengan skripsinya. Malam itu ia duduk di sebua...