Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ada yang sama antara motor dengan dengan roket, dan antara roket dengan skripsinya. Malam itu ia duduk di sebuah kursi berhadapan dengan meja kecil dan seorang teman di seberangnya. Sambil menunggu pesanan temannya datang, ia mulai menyulut rokoknya, menghisapnya dalam-dalam, membiarkannya sejenak, lalu menghembuskannya ke samping.
“Cak, kamu ada ide nggak soal ceritaku tadi?”, ia mengakhiri ceritanya dengan pertanyaan sulit bagi teman lamanya.
“Hmmm,” tangan temannya menopang dagu kepalanya yang sedang mengarah ke langit-langit atap kayu seolah sedang ikut mencari nyamuk yang diam-diam diincar oleh seekor cicak.
“Aku nggak tahu karakteristik skripsi yang ideal di jurusanmu itu gimana. Lagipula, kalau aku bantu kamu pakai patokan skripsi di jurusanku juga pasti susah. Misal dari jumlah bab-nya aja udah beda, di tempatku enam bab, di tempatmu lima bab,” tiba-tiba temannya memalingkan tatapan ke seberangnya setelah berpikir cukup lama.
“Tapi aku punya cerita yang kayaknya nyambung dengan kasusmu ini,” sambung temannya yang baru dikenalnya sejak tiga tahun lalu. Meskipun sudah lama tidak bertemu dan beda jurusan, malam itu ia ingin memecah kebuntuan di kepalanya dengan temannya itu. Sudah enam kali ia merevisi skripsinya namun belum juga disetujui oleh dosen pembimbingnya hanya untuk membahas bab 1 saja.
“Kamu pernah dengar gimana caranya Elon Musk bikin roket?” tanya temannya.
“Gimana itu?” ia mengetuk-ketukkan rokoknya di asbak kayu sambil menggeser kursinya agar lebih dekat ke meja.
Si Teman mengingat-ingat kembali apa yang pernah dibacanya tentang Elon Musk itu.
“Beberapa waktu lalu, SpaceX, perusahaan roketnya Elon Musk berhasil ngeluncurin roket tapi roket itu bisa balik lagi ke bumi. Beda sama roket-roket sebelumnya yang hanya sekali pakai. Gara-gara itu, biaya ngeluncurin satelit bisa jadi lebih murah soalnya roketnya ini bisa dipakai berkali-kali buat masang satelit di atas sana. Kok bisa Elon Musk kepikiran buat bikin roket kayak gini?”
“Hmmm”
“Dulu aku pernah diajari tentang sistem. Jadi bayangin ada sebuah kotak, lalu ada tanda panah ke dari kiri ke kanan menuju sisi kiri kotak sebagai input. Ada juga tanda panah dari sisi kanan kotak ke arah kanan sebagai output. Fenomena apa aja, bisa digambar jadi kayak gini”
“Oke….”
“Misalnya sepeda motorku atau sepeda motormu. Sepeda motor itu kalau dibedah isinya ada tiga: sepeda, mesin, sama bensin. Misalnya aku pengin motorku ini jalannya lebih cepet. Maka bisa dibilang output-nya itu kecepatan motor. Aku bisa ngutak-atik input-nya yang berpengaruh ke kecepatan motor. Entah sepedanya dibikin lebih enteng, atau komponen mesinnya yang aus diganti baru, atau bensinnya diganti dari premium jadi pertamax misalnya. Misal aja ini lho ya…”
“Permisi Mas, es tape sama pisang goreng ya…” sela seorang laki-laki berkaos merah menaruh pisang goreng yang masih hangat dan es tape di meja bundar yang cukup kecil itu.
“Makasih Mas, “ Si Teman menimpalinya sambil menata ulang piring yang tadi agak miring. Ia mengaduk-aduk es tape warna putih dari susu kental manis yang masih mengendap di dasar gelas. Ia menyedot es-nya sedikit sebelum melanjutkan ceritanya lagi.
“Es-nya rada kemanisan,” kata Si Teman ini setelah pelayannya pergi.
“Oh iya to, haha” sahut ia yang lalu mengambil kopinya untuk diseruput sedikit-sedikit biar habisnya lama.
“Tadi sampai mana ya?”
“Hmmm, sek…, “ ia diam sejenak, “Oh, yang motor diutak-atik itu”
“O iya” Si Teman menggeser lagi gelas es tape-nya biar enggak mengganggu pandangannya.
“Si Elon Musk ini juga nganggep roket sebagai sebuah sistem mirip kaya motor tadi. Dia sama tim-nya di SpaceX mbedah roket-roket yang pernah dibuat manusia, lalu diidentifikasi input output-nya. Dia pengin cari tahu gimana cara bikin roket yang efisien berdasarkan roket-roket yang udah ada. Jadi, dia anggap output-nya itu roket yang efisien. Input-nya bisa macem-macem. Bisa bahan-bakarnya, desain bentuk roketnya, material roketnya, macem-macem. Tapi sekarang kasusnya rada beda sama yang motor tadi”
“Beda apanya?” ia tahu motor sama roket beda jauh, tapi ia pengin memastikan bedanya di mana.
“Kalau di kasus motor tadi, aku bikin motor lebih cepat dengan cara ngutak-atik input-nya. Kalau di kasus roket ini, Elon Musk mikirnya beda. Dia pikir, udah puluhan tahun roket dikembangin, tapi kok efisiensinya enggak bisa berubah signifikan. Akhirnya dia kepikiran buat ngubah sistem roketnya, dari yang tadinya sekali terbang biar bisa berkali-kali terbang. Akhirnya SpaceX bikin roket yang bisa balik mendarat lagi ke bumi. Efeknya, biaya peluncurannya satelit bisa lebih murah, soalnya orang nggak perlu bikin roket baru lagi buat ngeluncurin satelit baru. Mereka bisa pakai roket yang udah pernah dibuat. Menurutnya ini cara ini bakal jauh lebih efisien dibanding roket-roket yang udah ada.”
“Wih, sangar yo Cak,” ia meletakkan puntung rokoknya di asbak lalu mengambil pisang goreng yang asapnya sudah menggoda itu. Pisang itu rada alot dan tepungnya banyak. Pisang itu dicuilnya sedikit sebelum dimakan buat mengetes seberapa tahan mulutnya makan pisang goreng itu.
“Sangar kok. Aku juga nggumun” Si Teman ini ikut-ikutan ngambil pisang goreng, tapi ia memilih pisang goreng yang paling kecil. Ia menoleh ke meja yang lain, mengunyah pisang gorengnya yang masih panas sambil menyipitkan matanya mengamati seseorang, lalu beralih lagi ke teman yang ada di depannya.
“Menurutku ceritanya Si Elon Musk ini ada nyambungnya sama skripsimu, bab 1-mu itu bisa dianggap juga sebagai sebuah sistem, “ celetuk Si Teman.
“Gimana itu Cak?”
“Tadi kamu cerita kan, bab 1-mu itu udah enam kali revisi tapi tetep belum sesuai ekspektasi dosen. Misalkan bab 1 dianggap itu sebuah sistem dan kamu kepingin bab 1-mu ini sesuai ekspektasi dosen. Berarti bisa dibilang, output dari sistem punyamu itu ekspektasi dosen kan.”
“Oke, lalu?” pupil matanya membesar ketika Si Teman ini mulai menyinggung skripsinya.
“Kalau bab 1-mu itu dianggap sebagai sistem dan kamu udah mendengar keinginan dosenmu enam kali, dugaanku kamu udah nyoba enam kali ngutak-atik berbagai input tapi belum sesuai sama output-nya. Bisa jadi ada jenis input lain yang belum kamu coba… atau bisa jadi kamu perlu ngubah sistem”
“Hmmmm”, ia berpikir sebentar mengingat-ingat lagi skripsinya.
“Oh…,” pupilnya masih sama besar tapi sekarang ia tampak seperti dapat ide baru. Senyumnya mengembang saat tangannya yang tadi berada di bawah ia angkat setinggi ke depan wajahnya seolah-olah berhasil menemukan kunci kosan yang ia kira jatuh hilang di jalan.
“Kayaknya aku perlu ngubah sistem deh”
Malam itu ia pulang menuju kosnya yang cukup dekat dengan kafe tempat nongkrongnya. Ia sengaja memelankan motornya sambil komat-kamit sendiri mengulang-ulang cerita tentang Si Elon Musk tadi. Pikirannya dipenuhi ide untuk menyelesaikan skripsinya.
Keesokan harinya, ia seharian berada di dalam kosnya yang besar, yang bisa dipakai untuk dua tempat tidur sekaligus ada kamar mandi dalamnya. Ia memang berbagi kamar dengan temannya yang lain untuk menghemat biaya sewa. Kamarnya dingin meskipun tidak ada AC. Entah kenapa dinding kamarnya terasa dingin kalau disentuh. Mungkin karena posisi kamar itu yang ada di lantai 1 sebuah bangunan dua lantai dan tidak terpapar langsung sinar matahari.
Ia menggelar meja kecil untuk menaruh laptopnya yang sedang membuka Microsoft Word. Setelah ngobrol semalam, ia kepikiran untuk merombak semua isi bab 1-nya menyesuaikan keinginan dosen yang diingatnya. Hari itu ia mengubah bab 1-nya dari dua puluh enam halaman menjadi dua belas halaman dan hanya memasukkan bagian-bagian tertentu saja.
Ia baru berani mengirim revisinya itu keesokan paginya lewat surel. Ia tahu, dosennya termasuk cepat dalam urusan revisi. Meskipun dosennya punya standar tinggi, ia merasa beruntung mendapat dosen tersebut. Selain jadi banyak belajar banyak hal dari revisinya itu, ia beruntung tidak perlu menunggu lama hasil revisi dosennya.
Benar saja, esok paginya ia sudah mendapat balasan surel dosennya. Ia sudah pasrah dengan apapun jawabannya. Baginya yang sudah enam kali revisi bab 1, ia sudah siap kalau pun harus melakukan revisi ke-delapan. Lagipula, kalau mengingat lagi ceritanya Elon Musk, niat yang dilakukannya kali ini adalah mencoba strategi baru. Ia pikir, kalau niatnya adalah mencoba strategi baru, maka seharusnya orientasinya bukan lagi pada hasil, melainkan pada prosesnya. Kalau revisi kali ini gagal, berarti ada strategi lain yang perlu dicoba lagi.
Pagi itu, ia membaca surelnya dengan sangat cepat. Ia tampak seperti anak kecil yang baru pertama kalinya melihat kelomang keluar dari kepompongnya, mulutnya melongo dengan tatapan terpaku laptop tanpa berkedip.
“Terima kasih revisinya, Anda sudah bisa lanjut ke bab selanjutnya”
[Read the English version here].
Artikel ini menyajikan versi singkat (TL;DR) dari penelitian saya tentang prediksi dan pelacakan beam berbantuan GPS untuk k...
Son berlari dari arah kamar kosnya menuju kamar mandi yang jauhnya sekitar 10 meter di depan kamarnya. Sekitar pukul 11 malam, ia lari di tengah lorong mele...
Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ada yang sama antara motor dengan dengan roket, dan antara roket dengan skripsinya. Malam itu ia duduk di sebua...